MAKALAH
ETIKA PROFESI TEKNOLOGI INFORMASI
DAN
KOMUNIKASI ( EPTIK )
PEMBAHASAN
CARDING
Diajukan
Untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester (UAS)
Mata
kuliah EPTIK
Pada
Program Diploma Tiga ( D.III )
Disusun
Oleh:
1.
WININGSIH 12111178
2.
ANITA
SAFITRI 12111311
3.
FERY
SETIAWAN 12111868
4.
ARIS
SANJAYA 12110928
5.
ARYADI S
Jurusan Manajemen Informatika
Akademi manajemen informatika dan Komputer “BSI Cikarang”
Cikarang
2012
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan syukur
kehadirat Allah SWT, penulis panjatkan atas segala rahmat, hidayah serta
ridhoNya, atas terselesaikannya makalah yang berjudul “CARDING ” yang
merupakan syarat mendapatkan nilai UAS pada mata kuliah Etika Profesi Teknologi Informasi &
Komunikasi ( EPTIK ).
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa
dalam menyusun makalah ini tak
terlepas dari bantuan berbagai pihak, Oleh
karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada
:
1.
Ibu Diah, S.Kom selaku
dosen EPTIK
2.
Kedua Orang Tua
tercinta dan keluarga kami yang selalu
mendo’akan dan
memberikan
semangat.
3.
Rekan-rekan
mahasiswa BSI yang telah mendukung dan berpartisipasi dalam pembuatan laporan
presentasi ini.
4.
Dan semua pihak
yang telah membantu penulis, namun tak bisa penulis sebutkan satu per satu.
Dalam penulisan makalah ini, tentunya
masih jauh dari kesempurnaan, karena masih banyak kesalahan. Oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan di masa
yang akan datang.
Akhir kata, penulis mohon di bukakan
pintu ma’af yang sebesar-besarnya, apabila ada kesalahan dan kekurangan yang
penulis lakukan. Dan penulis mengharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi
penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.
Cikarang, 10 Oktober 2012
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul ………………………………………………. 1
Kata Pengantar ………………………………………………. 2
Daftar Isi ……………………………………………………… 3
Pendahuluan …………………………………………………. 4
1.1 Latar Belakang …………………………………………..
4-5
1.2 Maksud Dan Tujuan ……………………………………… 5
1.3 Metode Penelitian ……………………………………….....
6
1.4 Ruang Lingkup ……………………………………………. 6
Pembahasan ……………………………………………………. 7
1 Pelanggaran Hukum Dalam Dunia Maya
………………… 7-8
2
Undang-Undang
Dunia Maya ……………………………… 8
3
Carding
……………………………………………………… 8-13
4
Peranan
Cyber Law ………………………………………… 13-18
Penutup …………………………………………………………. 19
1 Kesimpulan …………………………………………………...
19-21
2 Saran …………………………………………………………. 21
Daftar Pustaka …………………………………………………
22
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi (IPTEK) yang cukup pesat sekarang ini sudah menjadi realita
sehari-hari bahkan merupakan tuntutan masyarakat yang tidak dapat ditawar lagi.
Tujuan utama perkembangan iptek adalah perubahan kehidupan masa depan manusia
yang lebih baik, mudah, murah, cepat dan aman. Perkembangan iptek, terutama
teknologi informasi (Information Technology) seperti internet sangat menunjang
setiap orang mencapai tujuan hidupnya dalam waktu singkat, baik legal maupun
illegal dengan menghalalkan segala cara karena ingin memperoleh keuntungan
secara “potong kompas”. Dampak buruk dari perkembangan “dunia maya” ini tidak
dapat dihindarkan dalam kehidupan masyarakat modern saat ini dan masa depan.
Kemajuan teknologi informasi yang serba
digital membawa orang ke dunia bisnis yang revolusioner (digital revolution
era) karena dirasakan lebih mudah, murah, praktis dan dinamis berkomunikasi dan
memperoleh informasi. Di sisi lain, berkembangnya teknologi informasi
menimbulkan pula sisi rawan yang gelap sampai tahap mencemaskan dengan
kekhawatiran pada perkembangan tindak pidana di bidang teknologi informasi yang
berhubungan dengan “cybercrime” atau kejahatan duniamaya.
Masalah kejahatan maya dewasa ini sepatutnya
mendapat perhatian semua pihak secara seksama pada perkembangan teknologi
informasi masa depan, karena kejahatan ini termasuk salah satu extra ordinary
crime (kejahatan luar biasa) bahkan dirasakan pula sebagai serious crime
(kejahatan serius) dan transnational crime (kejahatan antar negara) yang selalu
mengancam kehidupan warga masyarakat, bangsa dan negara berdaulat. Tindak
pidana atau kejahatan ini adalah sisi paling buruk di dalam kehidupan moderen
dari masyarakat informasi akibat kemajuan pesat teknologi dengan meningkatnya
peristiwa kejahatan komputer, pornografi, terorisme digital, “perang” informasi
sampah, bias informasi, hacker, cracker dan sebagainya.
1.2. Maksud dan Tujuan
Maksud penulisan makalah ini adalah :
1.
Untuk lebih memahami
dan mengetahui tentang pelanggaran
hukum (Cybercrime) yang terjadi dalam dunia maya sekarang ini, dan
Undang-Undang Dunia Maya (Cyberlaw).
2. Untuk
lebih memahami dan mengetahui tentang betapa bahayanya carding dan semoga kita
dapat mencegah dan menghindari carding yang termasuk salasatu pelanggaran hukum
didunia maya.
Sedangkan tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai salah satu syarat
memenuhi nilai UAS pada mata kulih EPTIK pada jurusan Manajemen Informatika Akedemi
Manajemen Informatika dan Komputer Bina Sarana Informatika.
1.3. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dilakukan oleh
penulis pada penulisan tugas akhir ini adalah :
1.
Metode Studi Pustaka (Library Study)
Selain melakukan kegiatan tersebut diatas, penulis
merangkum berbagai sumber bacaan dari bahan – bahan pustaka yang ada
hubungannya dengan masalah yang akan dibahas guna mendapatkan gambaran yang lebih
jelas mengenai materi yang akan dijadikan bahan makalah.
1.4. Ruang Lingkup
Dalam penyusunan makalah ini, penulis
hanya memfokuskan pada kasus carding yang merupakan salasatu pelanggaran hukum
pada dunia maya.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pelanggaran hukum dalam dunia maya (
Cyber Crime)
Munculnya revolusi teknologi informasi
dewasa ini dan masa depan tidak hanya membawa dampak pada perkembangan
teknologi itu sendiri, akan tetapi juga akan mempengaruhi aspek kehidupan lain
seperti agama, kebudayaan, sosial, politik, kehidupan pribadi, masyarakat
bahkan bangsa dan negara. Jaringan informasi global atau internet saat ini
telah menjadi salah satu sarana untuk melakukan kejahatan baik domestik maupun
internasional. Internet menjadi medium bagi pelaku kejahatan untuk melakukan
kejahatan dengan sifatnya yang mondial, internasional dan melampaui batas
ataupun kedaulatan suatu negara. Semua ini menjadi motif dan modus operandi
yang amat menarik bagi para penjahat digital.
Cyber crime atau kejahatan dunia maya dapat didefenisikan
sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan menggunakan internet yang
berbasis pada kecanggihan teknologi komputer dan komunikasi.
2.
Undang - Undang dunia maya ( Cyber
Law)
Harus diakui bahwa Indonesia belum
mengadakan langkah-langkah yang cukup signifikan di bidang penegakan hukum (law
enforcement) dalam upaya mengantisipasi kejahatan duniamaya seperti
dilakukan oleh negara-negara maju di Eropa dan Amerika Serikat. Kesulitan yang
dialami adalah pada perangkat hukum atau undang-undang teknologi informasi dan
telematika yang belum ada sehingga pihak kepolisian Indonesia masih ragu-ragu
dalam bertindak untuk menangkap para pelakunya, kecuali kejahatan duniamaya yang bermotif
pada kejahatan ekonomi/perbankan.
Untuk itu diperlukan suatu perangkat UU yang dapat mengatasi
masalah ini seperti yang sekarang telah adanya perangkat hukum
yang satu ini berhasil digolkan, yaitu Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE). UU yang terdiri dari 13 Bab dan 54 Pasal serta Penjelasan
ini disahkan setelah melalui Rapat Paripurna DPR RI pada Selasa, 25 Maret 2008.
Namun sejatinya perjalanan perangkat hukum yang sangat penting bagi kepastian
hukum di dunia maya ini sebenarnya sudah dimulai 5 tahun yang lalu.
3.
Carding
Didalam dunia maya sangat banyak pihak-pihak yang mencari
keuntungan tanpa memperdulikan segalasesuatunya entah itu merugikan orang lain,
masyarakat atau pihak yang tidak tersangkut secara langsung. Berikut ini adalah
beberapa contoh kasus pelangaran hokum terhadap dunia maya diantaranya adalah
Hacker, Cracker, Defacer, Carding, Frauder, Spammer
dalam
penulisan makalah ini penulis mencoba membahas salasatu kasus pelanggaran hokum
dalam dunia maya yaitu carding.
Carding adalah suatu aktivitas untuk mrndapatkan nomer-nomer
kartu kredit orang lain yang digunakan untuk berbelanja siinternet secara tidak
syah atau illegal.
Carding, sebuah ungkapan mengenai
aktivitas berbelanja secara maya (lewat komputer), dengan menggunakan, berbagai
macam alat pembayaran yang tidak sah. pada umumnya carding identik dengan
transaksi kartu kredit, dan pada dasarnya kartu kredit yang digunakan bukan
milik si carder tersebut akan tetapi milik orang lain.
apa yang terjadi ketika transaksi carding berlangsung,
tentu saja sistem pembayaran setiap toko atau perusahaan yang menyediakan
merchant pembayaran mengizinkan adanya transaksi tersebut. seorang carder
tinggal menyetujui dengan cara bagaimana pembayaran tersebut di lakukan
apakah dengan kartu kredit, wire transfer, phone bil atau lain sebagainya.
cara carding sebagai berikut:
1. mencari kartu kredit yang masih valid, hal ini
dilakukan dengan mencuri atau kerjasama dengan orang-orang yang bekerja
pada hotel atau toko-toko gede (biasanya kartu kredit orang asing yang
disikat). atau masuk ke program MIRC (chatting) pada server dal net,
kemudian ke channel #CC, #Carding, #indocarder, #Yogyacarding,dll. nah
didalamnya kita dapat melakukan trade (istilah "tukar") antar kartu
kredit (bila kita memiliki kartu kredit juga, tapi jika tidak punya kartu
kredit, maka dapat melakukan aktivitas "ripper" dengan menipu salah
seorang yang memiliki kartu kredit yang masih valid).
2. setelah berhasil mendapatkan kartu kredit, maka carder
dapat mencari situs-situs yang menjual produk-produk tertentu (biasanya di cari
pada search engine). tentunya dengan mencoba terlebih dahulu (verify) kartu
kredit tersebut di site-site porno (hal ini disebabkan karena kartu kredit
tersebut tidak hanya dipakai oleh carder tersebut). jika di terima, maka kartu
kredit tersebut dapat di belanjakan ke toko-toko tersebut.
3. cara memasukan informasi kartu kredit pada merchant
pembayaran toko adalah dengan memasukan nama panggilan (nick name), atau nama
palsu dari si carder, dan alamat aslinya. atau dengan mengisi alamat asli dan
nama asli si empunya kartu kredit pada form billing dan alamat si carder pada
shipping adress. (mudahkan?.....)
jenis kartu kredit:
1. asli didapatkan dari toko atau hotel (biasa disebut
virgin CC)
2. hasil trade pada channel carding
3.hasil ekstrapolet (penggandaan, dengan menggunakan
program C-master 4, cardpro, cardwizard, dll), softwarenya dapat di Download
disini: Cmaster4, dan cchecker (jika ada yang
ingin mengetahui CVV dari kartu tersebut)
4. hasil hack (biasa disebut dengan fresh cc), dengan
menggunakan tekhnik jebol ASP (dapat anda lihat pada menu "hacking")
Contoh kartu kredit:
First Name*
Judy
Last Name* Downer
Address* 2057 Fries Mill Rd
City* Williamstown
State/Province* NJ
Zip* 08094
Phone* ( 856 )881-5692
E-mail* serengeti@erols.com
Payment Method Visa
Card Number 4046446034843451
Exp. Date 5/04
Last Name* Downer
Address* 2057 Fries Mill Rd
City* Williamstown
State/Province* NJ
Zip* 08094
Phone* ( 856 )881-5692
E-mail* serengeti@erols.com
Payment Method Visa
Card Number 4046446034843451
Exp. Date 5/04
Apa anda pernah memikirkan arti dari
nomor kartu kredit, dan bagaimana angka-angka tersebut dihasilkan? Atas dasar
ilmu pengetahuan, berikut ini akan saya jabarkan RAHASIA-nya
Pertama-tama anda harus mengenal
bagian-bagian dari deretan angka pada kartu kredit tersebut.
Dari 16 angka yang anda lihat di kartu kredit Visa atau MasterCard, 6 digit pertamanya merupakan “issuer identifier“, yaitu kode jenis kartu kredit tersebut. Jika 6 digit tersebut diawali dengan 4, berarti kartu kredit tersebut berjenis Visa. Namun, jika 6 digit tersebut diawali dengan 5, berarti kartu kredit tersebut berjenis MasterCard. Berikutnya, 1 digit terakhir dari 16 digit angka di kartu kredit tersebut berfungsi sebagai “check digit“, yang fungsinya hanya untuk validasi pengecekan nomor kartu kredit tersebut. Karena 6 digit awal dan 1 digit terakhir tersebut sudah memiliki arti, berarti tinggal tersisa 9 digit di tengah yang berfungsi sebagai “account number“.
Dari 16 angka yang anda lihat di kartu kredit Visa atau MasterCard, 6 digit pertamanya merupakan “issuer identifier“, yaitu kode jenis kartu kredit tersebut. Jika 6 digit tersebut diawali dengan 4, berarti kartu kredit tersebut berjenis Visa. Namun, jika 6 digit tersebut diawali dengan 5, berarti kartu kredit tersebut berjenis MasterCard. Berikutnya, 1 digit terakhir dari 16 digit angka di kartu kredit tersebut berfungsi sebagai “check digit“, yang fungsinya hanya untuk validasi pengecekan nomor kartu kredit tersebut. Karena 6 digit awal dan 1 digit terakhir tersebut sudah memiliki arti, berarti tinggal tersisa 9 digit di tengah yang berfungsi sebagai “account number“.
Oleh karena terdapat 10 kemungkinan angka
(dari angka 0 sampai dengan 9) yang bisa dimasukkan ke tiap digit dari 9 digit
“account number” tersebut, maka kombinasi yang dihasilkan dari 9 digit tersebut
berjumlah 1 milyar kemungkinan nomor untuk masing-masing jenis kartu kredit
(Visa atau MasterCard). Adapun algoritma yang dipakai untuk menghasilkan
deretan 16 angka untuk nomor kartu kredit tersebut dinamakan algoritma “Luhn”
atau “Mod 10“.
Dulu pada tahun 1954, Hans Luhn dari IBM adalah orang yang pertama kali mengusulkan penerapan algoritma untuk mengetahui valid atau tidaknya suatu nomor kartu kredit.
Cara kerja algoritma yang sederhana (tapi luar biasa) ini adalah sebagai berikut :
Dulu pada tahun 1954, Hans Luhn dari IBM adalah orang yang pertama kali mengusulkan penerapan algoritma untuk mengetahui valid atau tidaknya suatu nomor kartu kredit.
Cara kerja algoritma yang sederhana (tapi luar biasa) ini adalah sebagai berikut :
1. Dimulai dari digit pertama, kalikan 2 semua angka yang menempati digit ganjil, sehingga secara keseluruhan akan ada 8 digit yang anda kalikan 2, yakni digit ke 1, 3, 5, 7, 9, 11, 13, dan 15.
2. Jika hasil perkalian 2 tersebut menghasilkan angka yang berjumlah 2 digit (10, 12, 14, 16, atau 18), maka jumlahkan angka masing-masing digit tersebut untuk menghasilkan 1 digit angka baru, sehingga hasil dari langkah pertama dan kedua ini tetap berupa 8 angka.
3. Langkah berikutnya, gantikan semua angka (nomor kartu kredit) yang terletak pada digit posisi ganjil tersebut dengan 8 angka baru tersebut, untuk menghasilkan deretan 16 angka baru.
4. Langkah terakhir, jumlahkan ke-16 angka tersebut. Jika hasil penjumlahannya merupakan kelipatan 10, berarti nomor kartu kredit tersebut valid, dan sebaliknya, jika tidak kelipatan 10, berarti nomor kartu kredit tersebut tidak valid. Berikut ini saya berikan contoh perhitungan sebenarnya :
Seperti anda lihat di gambar di atas ini, nomor kartu kredit tersebut adalah 4552 7204 1234 5678, karena diawali dengan 4, berarti kartu tersebut berjenis Visa. Sekarang kita lakukan perhitungannya.
Jika sudah anda hitung dengan teliti, maka akan terlihat bahwa jumlah akhirnya adalah 61, yang BUKAN merupakan bilangan kelipatan 10, sehingga bisa dipastikan bahwa nomor kartu kredit tersebut adalah tidak valid. Seandainya “check digit” di contoh tersebut bukan 8, melainkan 7, maka secara algoritma, nomor kartu kredit tersebut akan menjadi valid, karena total penjumlahannya akan berubah menjadi 60, suatu bilangan kelipatan 10. Berikut ini contoh yang lain
Sekali lagi, lakukan kalkulasi sesuai algoritma Luhn di atas untuk kartu kredit MasterCard dengan nomor 5490 1234 5678 9123 tersebut
Seperti bisa anda hitung sendiri, total
penjumlahannya adalah 65, sehingga nomor kartu kredit tersebut tidak valid,
karena 65 BUKAN bilangan kelipatan 10. Seandainya, “check digit” kartu kredit
tersebut bukan 3, melainkan 8, maka hasil penjumlahannya akan menjadi 70, yang
merupakan kelipatan 10, sehingga nomor kartu kredit tersebut akan menjadi valid
(secara algoritma).
Pengertian valid di atas adalah valid secara perhitungan matematika, bukan berarti nomor kartu kredit tersebut benar-benar pasti nomor kartu kredit yang asli. Karena untuk pengecekan kartu kredit (pada saat transaksi online, misalnya) dibutuhkan tidak hanya nomor kartu kreditnya saja, tapi juga “expiry date“, serta “card security code” atau disebut juga dengan CVV (Card Verification Value) atau pun CVC (Card Verification Code) yang merupakan 3 digit terakhir di balik kartu kredit tersebut. P.S. : Untuk kartu kredit American Express, jumlah digitnya bukan 16, tapi cuma 15, dan selalu diawali dengan 34 atau 37 untuk 2 digit pertamanya. Sedangkan untuk “account number“-nya hanya memiliki panjang 8 digit, bukan 9 digit seperti kartu kredit jenis Visa atau MasterCard.
Pengertian valid di atas adalah valid secara perhitungan matematika, bukan berarti nomor kartu kredit tersebut benar-benar pasti nomor kartu kredit yang asli. Karena untuk pengecekan kartu kredit (pada saat transaksi online, misalnya) dibutuhkan tidak hanya nomor kartu kreditnya saja, tapi juga “expiry date“, serta “card security code” atau disebut juga dengan CVV (Card Verification Value) atau pun CVC (Card Verification Code) yang merupakan 3 digit terakhir di balik kartu kredit tersebut. P.S. : Untuk kartu kredit American Express, jumlah digitnya bukan 16, tapi cuma 15, dan selalu diawali dengan 34 atau 37 untuk 2 digit pertamanya. Sedangkan untuk “account number“-nya hanya memiliki panjang 8 digit, bukan 9 digit seperti kartu kredit jenis Visa atau MasterCard.
4.
Peranan Cyber Law
Cyber Law adalah aspek hukum yang
istilahnya berasal dari Cyberspace Law, yang ruang lingkupnya meliputi setiap
aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atausubyek hukum yang
menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulaipada saat mulai
"online" dan memasuki dunia cyber atau maya. Pada negara yang
telahmaju dalam penggunaan internet sebagai alat untuk memfasilitasi setiap
aspek kehidupanmereka, perkembangan hukum dunia maya sudah sangat maju. Sebagai
kiblat dariperkembangan aspek hukum ini, Amerika Serikat merupakan negara yang
telah memilikibanyak perangkat hukum yang mengatur dan menentukan perkembangan
Cyber Law.Untuk dapat memahami sejauh mana perkembangan Cyber Law di Indonesia
maka kitaakan membahas secara ringkas tentang landasan fundamental yang ada
didalam aspekyuridis yang mengatur lalu lintas internet sebagai sebuah rezim
hukum khusus, dimanaterdapat komponen utama yang menliputi persoalan yang ada
dalam dunia maya tersebut,yaitu
Ø Pertama, tentang
yurisdiksi hukum dan aspek-aspek terkait; komponen inimenganalisa dan
menentukan keberlakuan hukum yang berlaku danditerapkan di dalam dunia maya
itu;
Ø Kedua, tentang
landasan penggunaan internet sebagai sarana untukmelakukan kebebasan
berpendapat yang berhubungan dengan tanggungjawab pihak yang menyampaikan,
aspek accountability, tangung jawabdalam memberikan jasa online dan penyedia
jasa internet (internetprovider), serta tanggung jawab hukum bagi penyedia jasa
pendidikanmelalui jaringan internet;
Ø Ketiga, tentang aspek
hak milik intelektual dimana adanya aspek tentangpatent, merek dagang rahasia
yang diterapkan serta berlaku di dalam dunia
cyber;
Ø Keempat, tentang aspek
kerahasiaan yang dijamin oleh ketentuan hukumyang berlaku di masing-masing
yurisdiksi negara asal dari pihak yangmempergunakan atau memanfaatkan dunia
maya sebagai bagian darisistem atau mekanisme jasa yang mereka lakukan;
Ø Kelima, tentang aspek
hukum yang menjamin keamanan dari setiappengguna internet;
Ø Keenam, tentang
ketentuan hukum yang memformulasikan aspekkepemilikan dalam internet sebagai
bagian dari nilai investasi yang dapatdihitung sesuai dengan prinisip-prinsip
keuangan atau akuntansi;
Ø Ketujuh, tentang aspek
hukum yang memberikan legalisasi atas internetsebagai bagian dari perdagangan
atau bisnis usaha.
Berdasarkan faktor-faktor tersebut di
atas maka kita akan dapat melakukan penilaianuntuk menjustifikasi sejauh mana
perkembangan dari hukum yang mengatur sistem danmekanisme internet di
Indonesia.Perkembangan internet di Indonesia mengalami percepatan yang sangat
tinggi sertamemiliki jumlah pelanggan atau pihak pengguna jaringan internet
yang terus meningkatsejak paruh tahun 90'an. Salah satu indikator untuk melihat
bagaimana aplikasi hukumtentang internet diperlukan di Indonesia adalah dengan
melihat banyaknya perusahaanyang menjadi provider untuk pengguna jasa internet
di Indonesia. Perusahaan-perusahaanyang memberikan jasa provider di Indonesia
sadar atau tidak merupakan pihak yangberperanan sangat penting dalam memajukan
perkembangan cyber law di Indonesiadimana fungsi-fungsi yang mereka lakukan
seperti :
v Perjanjian
aplikasi rekening pelanggan internet;
v Perjanjian
pembuatan desain home page komersial;
v Perjanjian
reseller penempatan data-data di internet server;
v Penawaran-penawaran
penjualan produk-produk komersial melaluiinternet;
v Pemberian
informasi yang di update setiap hari oleh home page komersial;
v Pemberian
pendapat atau polling online melalui internet.
Merupakan faktor dan tindakan yang
dapat digolongkan sebagai tindakan yangberhubungan dengan aplikasi hukum
tentang cyber di Indonesia. Oleh sebab itu adabaiknya didalam perkembangan
selanjutnya agar setiap pemberi jasa atau penggunainternet dapat terjamin maka
hukum tentang internet perlu dikembangkan serta dikajisebagai sebuah hukum yang
memiliki displin tersendiri di Indonesia.
Secara akademis, terminologi ”cyber
law” tampaknya belum menjadi terminologi yangsepenuhnya dapat diterima. Hal ini
terbukti dengan dipakainya terminologi lain untuktujuan yang sama seperti The
law of the Inlernet, Law and the InformationSuperhighway, Information
Technology Law, The Law of Information, dan sebagainya.Di Indonesia sendiri
tampaknya belum ada satu istilah yang disepakati atau paling tidakhanya sekedar
terjemahan atas terminologi ”cyber law”.
Sampai saat ini ada beberapaistilah
yang dimaksudkan sebagai terjemahan dari ”cyber law”, misalnya, Hukum
SistemInformasi, Hukum Informasi, dan Hukum Telematika (Telekomunikasi dan
Informatika).Bagi penulis, istilah (Indonesia) manapun yang akan dipakai tidak
menjadi persoalan.Yang penting, di dalamnya memuat atau membicarakan mengenai
aspek-aspek hukumyang berkaitan dengan aktivitas manusia di Internet. Oleh
karena itu dapat dipahamiapabila sampai saat ini di kalangan peminat dan
pemerhati masalah hukum yangberikaitan dengan Internet di Indonesia masih menggunakan
istilah ”cyber law”.
Sebagaimana dikemukakan di atas,
lahirnya pemikiran untuk membentuk satu aturanhukum yang dapat merespon
persoalan-persoalan hukum yang muncul akibat daripemanfaatan Internet terutama
disebabkan oleh sistem hukum tradisional yang tidaksepenuhnya mampu merespon
persoalan-persoalan tersebut dan karakteristik dari Internetitu sendiri. Hal
ini pada gilirannya akan melemahkan atau bahkan mengusangkan konsepkonsephukum
yang sudah mapan seperti kedaulatan dan yurisdiksi. Kedua konsep iniberada
padaposisi yang dilematis ketika harus berhadapan dengan kenyataan bahwa
parapelaku yang terlibat dalam pemanfaatan Internet tidak lagi tunduk pada
batasankewarganegaraan dan kedaulatan suatu negara.
Dalam kaitan ini Aron Mefford
seorangpakar cyberlaw dari Michigan State University sampai pada kesimpulan
bahwa denganmeluasnya pemanfaatan Internet sebenarnya telah terjadi semacam
”paradigm shift”dalam menentukan jati diri pelaku suatu perbuatan hukum dari
citizens menjadi netizens.Dilema yang dihadapi oleh hukum tradisional dalam
menghadapi fenomena cyberspaceini merupakan alasan utama perlunya membentuk
satu regulasi yang cukup akomodatifterhadap fenomena-fenomena baru yang muncul
akibat pemanfaatan Internet.
Aturanhukum yang akan dibentuk itu harus
diarahkan untuk memenuhi kebutuhan hukum (thelegal needs) para pihak yang
terlibat dalam traksaksi-transaksi lewat Internet. Untuk itupenulis cenderung
menyetujui proposal dari Mefford yang mengusulkan ”LexInformatica” (Independent
Net Law) sebagai ”Foundations of Law on the Internet".Proposal Mefford ini
tampaknya diilhami oleh pemikiran mengenai ”Lex Mercatoria”yang merupakan satu
sistem hukum yang dibentuk secara evolutif untuk meresponkebutuhan-kebutuhan
hukum (the legal needs) para pelaku transaksi dagang yangmendapati kenyataan
bahwa sistem hukum nasional tidak cukup memadai dalammenjawab realitas-realitas
yang ditemui dalam transaksi perdagangan internasional.Secara demikian maka
”cyber law” dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan yangberkaitan dengan
persoalan-persoalan yang muncul akibat dari pemanfaatan Internet.
Pembahasan mengenai ruang lingkup
”cyber law” dimaksudkan sebagai inventarisasi ataspersoalan-persoalan atau
aspek-aspek hukum yang diperkirakan berkaitan denganpemanfaatan Internet.
Jonathan Rosenoer dalam Cyber law, the law of internet mengingatkan tentang
ruang lingkup dari cyber law diantaranya :
Ø Hak Cipta (Copy Right)
Ø Hak Merk (Trademark)
Ø Pencemaran nama baik (Defamation)
Ø Fitnah, Penistaan, Penghinaan (Hate Speech)
Ø Serangan terhadap fasilitas komputer
(Hacking, Viruses, Illegal Access)
Ø Pengaturan sumber daya internet seperti
IP Address, domain name
Ø Kenyamanan Individu (Privacy)
Ø Prinsip kehati-hatian (Duty care)
Ø Tindakan kriminal biasa yang menggunakan
TI sebagai alat
Ø Isu prosedural seperti yuridiksi,
pembuktian, penyelidikan dll
Ø Kontrak / transaksi elektronik dan
tanda tangan digital
Ø Pornografi
Ø Pencurian melalui Internet
Ø Perlindungan Konsumen
Ø Pemanfaatan internet dalam aktivitas
keseharianseperti ecommerce, e-government, e-education dll.
BAB III
PENUTUP
1.
KESIMPULAN
Perkembangan teknologi informasi (TI)
dan khususnya juga Internet ternyata tak hanyamengubah cara bagaimana seseorang
berkomunikasi, mengelola data dan informasi,melainkan lebih jauh dari itu
mengubah bagaimana seseorang melakukan bisnis. Banyakkegiatan bisnis yang
sebelumnya tak terpikirkan, kini dapat dilakukan dengan mudah dancepat dengan
model-model bisnis yang sama sekali baru. Begitu juga, banyak kegiatanlainnya
yang dilakukan hanya dalam lingkup terbatas kini dapat dilakukan dalamcakupan
yang sangat luas, bahkan mendunia.
Di sisi lain, perkembangan TI dan
Internet ini, juga telah sangat mempengaruhi hampirsemua bisnis di dunia untuk
terlibat dalam implementasi dan menerapkan berbagaiaplikasi. Banyak manfaat dan
keuntungan yang bisa diraih kalangan bisnis dalam kaitanini, baik dalam konteks
internal (meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi), daneksternal
(meningkatkan komunikasi data dan informasi antar berbagai perusahaanpemasok,
pabrikan, distributor) dan lain sebagainya.Namun, terkait dengan semua
perkembangan tersebut, yang juga harus menjadi perhatianadalah bagaimana
hal-hal baru tersebut, misalnya dalam kepastian dan keabsahantransaksi,
keamanan komunikasi data dan informasi, dan semua yang terkait dengankegiatan
bisnis, dapat terlindungi dengan baik karena adanya kepastian hukum.
Mengapadiperlukan kepastian hukum yang lebih kondusif, meski boleh dikata sama
sekali baru,karena perangkat hukum yang ada tidak cukup memadai untuk menaungi
semuaperubahan dan perkembangan yang ada.
Masalah hukum yang dikenal dengan
Cyberlaw ini tak hanya terkait dengan keamanandan kepastian transaksi, juga
keamanan dan kepastian berinvestasi. Karena, diharapkandengan adanya pertangkat
hukum yang relevan dan kondusif, kegiatan bisnis akan dapatberjalan dengan
kepastian hukum yang memungkinkan menjerat semua fraud atautindakan kejahatan
dalam kegiatan bisnis, maupun yang terkait dengan kegiatanpemerintah.
Banyak terjadi tindak kejahatan
Internet (seperti carding), tetapi yang secara nyata hanyabeberapa kasus saja
yang sampai ke tingkat pengadilan. Hal ini dikarenakan hakimsendiribelum
menerima bukti-bukti elektronik sebagai barang bukti yang sah, sepertidigital
signature. Dengan demikian cyberlaw bukan saja keharusan melainkan
sudahmerupakan kebutuhan, baik untuk menghadapi kenyataan yang ada sekarang
ini, dengansemakin banyakterjadinyanya kegiatan cybercrime maupun tuntutan komunikasi
perdagangan manca negara (cross border transaction) ke depan.
Karenanya, Indonesia sebagai negara
yang juga terkait dengan perkembangan danperubahan itu, memang dituntut untuk
merumuskan perangkat hukum yang mampumendukung kegiatan bisnis secara lebih
luas, termasuk yang dilakukan dalam duniavirtual, dengan tanpa mengabaikan yang
selama ini sudah berjalan. Karena, perangkathukum yang ada saat ini ditambah
cyberlaw, akan semakin melengkapi perangkat hukumyang dimiliki. Inisiatif ini
sangat perlu dan mendesak dilakukan, seiring dengan semakinberkembangnya
pola-pola bisnis baru tersebut.Sejak Maret 2003 lalu Kantor Menteri Negara
Komunikasi dan Informasi (Menkominfo)mulai menggodok Rancangan Undang-Undang
(RUU) Informasi Elektronik danTransaksi Elektronik (IETE) - yang semula bernama
Informasi, Komunikasi danTransaksi Elektronik (IKTE).
Hal tersebut seharusnya memang
diantisipasi sejak awal, karena eksistensi TI denganperkembangannya yang sangat
pesat telah melahirkan kecemasan-kecemasan baru seiringmaraknya kejahatan di
dunia cyber yang semakin canggih. Lebih dari itu, TI yang tidakmengenal
batas-batas teritorial dan beroperasi secara maya juga menuntut
pemerintahmengantisipasi aktivitas-aktivitas baru yang harus diatur oleh hukum
yang berlaku,terutama memasuki pasar bebas.
2.
SARAN
Mengingat
begitu pesatnya perkembangan dunia cyber (internet), efek negatifnyapun ikut
andil didalamnya, untuk itu diharapkan peran demi tegaknya keadilan di
negriini.
DAFTAR PUSTAKA
BisTek Warta Ekonomi No. 24 edisiJuli 2000, Judul :Jenis-JenisKejahatanKomputer,
halaman. 52-54.
Warta Ekonomi No. 9, 5 Maret 2001 Judul :Perangkathukum
di Indonesia dalam
mengatasikejahatankomputer, halaman 12-14.
Web site Insecure.org at http://insecure.org/nmap/
date access December 2008
Majalahinteraksiacuanhukumdankemasyarakatan, website :
http://berita.kafedago.com/kirimkomentar.asp, date access
December 2008
MajalahGatraedisiOktober 2004, Judul :Cybercrime di Era
Digital,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar